Sabtu, 12 Juli 2014

MASIH BANYAK ORANG YANG BAIK HATI



 Hidup di kota Metropolitan yang sudah penuh sesak baik oleh banyaknya bangunan apakah itu rumah tinggal, perkantoran ataupun bangunan lainnya serta  berjubelnya manusia, kadang-kadang kita bisa merasa tidak ubahnya seperti hidup didaerah terpencil yang suni dan sepi. Kita boleh punya rumah yang berhimpitan dengan rumah tetangga kiri kanan, muka belakang, tapi kita tidak pernah saling bisa memandang (melihat) karena masing-masing dibatasi dengan tembok-tembok yang tinggi. Kita bisa berdesak-desakan dijalanan karena banyaknya manusia, tapi tidak ada yang saling tegur sapa. Kita tidak pernah tau dan tidak mau tau peristiwa apa yang terjadi di rumah tentangga kita. Tidak ada keinginan untuk saling kenal dan silaturahmi. Kita bisa merasa kesepian ditengah keramaian, karena tidak ada tegur sapa dan keramahan bisa menjadi barang mahal. Semua serba egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Itulah gambaran pada umumnya pengalaman sebagaian besar orang yang hidup di kota Metropolitan.

          Namun, adakalanya kita bisa dikagetkan sikap dan perilaku serta tindakan beberapa orang  baik yang berhati malaikat yang bisa menyejukkan serta membanggakan perasaan kita.
Pada suatu hari saya naik Mikrolet dari Gandaria Cimanggis menuju terminal Kampung Melayu Jakarta Timur. Supir Mikrolet  itu adalah seorang anak muda. Didalam mirolet itu sudah duduk tujuh orang penumpang, termasuk saya. Namun, masih bisa mengangkut empat  orang lagi penumpang.

          Sepanjang perjalanan dari Gandaria sampai Cililitan, mikrolet saling menyalip untuk berebut penumpang. Tapi dari jauh ada pemandangan aneh yang saya lihat. Di depan angkot yang kami tumpangi, ada seorang ibu dengan 3 orang anaknya  berdiri di pinggir jalan. Setiap ada angkot yang berhenti dihadapannya, dari jauh  kelihatan si ibu menyetop dan bicara kepada sopir mirolet, lalu mirolet tersebut melaju kembali.

          Kejadian ini terulang sampai tiga kali. Lalu ketika mikrolet  yang kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya: "Nak, sampai Terminal kampung Melayu ya?" sopir tentu saja menjawab "ya". Tapi anehnya si ibu tidak segera naik. Ia berkata  "Tapi saya dan 3 anak saya tidak punya ongkos." Sambil tersenyum, sopir itu menjawab, "Tidak apa-apa Bu, naik saja," ketika si Ibu tampak ragu-ragu, si supir mengulangi perkataannya "Ayo bu, naik saja, tidak  apa-apa .."
          Saya sangat kagum melihat kebaikan Supir mikrolet  yang masih muda itu, di saat jam sibuk dan angkot lain saling berlomba untuk mencari penumpang untuk menghejar setoran, tapi si supir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk si ibu dan 3 orang  anaknya.

         Setelah  sampai di terminal Kampung Melayu, 4 penumpang gratisan ini turun. Si Ibu mengucapkan terima kasih kepada Supir. Tapi dibelakang ibu itu, tiba-tiba salah seorang pria dari antara  penumpang yang lain,  turun lalu membayar dengan uang Rp20.000 ,-  Ketika supir hendak memberi kembalian, karena ongkos hanya Rp.4.000,- Pria itu bilang bahwa uang itu untuk ongkosnya dengan  eempat  orang penumpang gratisan tadi. "Teruslah jadi orang baik ya, Dek," kata pria tersebut kepada sopir mikrolet muda itu...

          Siang  itu saya benar-benar merasa kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil dan tindakan-tindakan terpuji yang saya lihat. Seorang Ibu miskin tapi jujur, seorang Supir yang baik hati dan  seorang penumpang yang dermawan. Mereka saling mendukung untuk berbuat dan menciptakan kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang berhati malaikat ditengah-tengah jutaan manusia yang hidup serba egois dan hanya memikirkan diri sendiri tanpa pernah mau tau kehidupan orang-orang disekelilingnya.
Sekiranya ada sepertiga saja penduduk bangsa kita seperti ini, maka kita akan mampu merubah dunia  meniru kebaikan kita, karena perubahan harus kita mulai dari diri kita.
Ingatlah  perbuatan baik akan selalu berbuah manis pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar