Senin, 14 Juli 2014

KASIH IBU TIDAK TERUKUR



          Sebagai seorang anak orang miskin Ponirah selalu menempuh perjalanan sepanjang 14 Km setiap hari pulang pergi ke sekolahnya dengan berjalan kaki. Ibunya hanya seorang pedagang es keliling, sedangkan ayahnya sudah lama meninggal. Ibunya tidak mampu memberi ongkos buat dia untuk bisa naik angkutan umum ke sekolahnya yang cukup jauh, tapi masih berusaha untuk memberi uang jajan sekedarnya agar bisa makan siang di kantin sekolah atau di pinggir jalan sambil mau pulang ke rumah. Pagi-pagi sekali dia sudah harus berangkat agar tidak terlambat sampai di sekolah. 

          Namun hari itu ibunya membujuknya untuk pergi sekolah tanpa diberi uang jajan, karena ibunya sama sekali tidak punya uang. Karena dua hari sebelumnya berturut-turut hujan turun sepanjang hari sehingga ibunya tidak bisa jualan. Ibunya minta untuk bersabar makan siang di rumah sepulang dari sekolah. Akan tetapi Ponirah tidak mau mengerti akan kesulitan ibunya, maka dia merengek-rengek untuk tetap dikasih uang jajan. Karena dia merengek terus tidak mengerti keadaan orang tuanya, maka ibunyapun marah dan membentaknya akhirnya sambil menangis Ponirah pergi sekolah pagi itu. Ibunya sebenarnya tidak tega melihat anaknya itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah anaknya berangkat diapun bergegas berangkat untuk menjajakan jualannya dengan harapan cuaca cerah, dengan begitu dia pulang lebih awal setelah mendapat uang, agar bisa memasak nasi sebelum anaknya pulang sekolah. 

          Siang itu dalam perjalanan pulang kerumah, Ponirah merasa lapar sekali, maka dia istirahat sebentar sambil menahan lapar, duduk disebuah bangku panjang warung gado-gado dipinggir jalan. Setelah duduk kira-kira lima menit, si ibu tukang gado-gado bertanya, “Nak, apakah kamu mau makan gado-gado?” Dengan suara pelan sambil menahan rasa malu Ponirah menjawab, “Ya bu, tapi saya tidak punya uang. “Oh tidak apa-apa, kalau kamu tidak punya uang saya akan berikan satu piring gado-gado untukmu”.Maka Ponirahpun menyantapnya dengan sangat lahap. Tak lama kemudian air matanya bercucuran, sambil menangis tersedu-sedu. “Kenapa Nak? Tanya si ibu pemilik warung gado-gado itu. Tidak apa-apa bu, aku hanya sangat terharu merasakan kebaikan ibu. Aku baru mengenal ibu tapi terus bersedia memberikan aku sepiring gado-gado, sedangkan ibuku memaksa aku pergi ke sekolah dengan rasa lapar tanpa diberi uang jajan. Ibu betul-betul sangat peduli sama aku. 

          Ibu pemilik warung gado-gado itu berkata, “Nak, kamu tidak boleh berpikir begitu. Coba kamu renungkan hal ini, aku hanya memberi sepiring gado-gado, kamu begitu terharu. Ibumu telah mengandung kamu selama sembilan bulan, melahirkan, membesarkanmu dan menyekolahkan serta memberimu makan tiap hari. Mungkin hari ini ibumu lagi tidak punya uang. Jadi sangat tidak pantas dan tidak adil membandingkan aku dengan ibumu. Ingatlah kamu tidak akan pernah bisa mengukur kasih sayang dari ibumu.   Mendengar perkataan itu, Ponirah merasa kaget, “Mengapa aku berpikir seperti itu?” Untuk sepiring gado-gado dari orang yang baru kukenal aku begitu terharu dan berterimakasih, sedangkan terhadap ibuku yang telah memberikan banyak pengorbanan bertahun-tahun aku marah dan membenci hanya karena sekali tidak diberi uang jajan.
Segera dia menghabiskan makan gado-gadonya dan dengan cepat-cepat dia pulang kerumahnya. Begitu sampai dirumah, ibunya langsung memeluk Ponirah sambil berkata, “Nak, kau sudah pulang, cepat masuk, aku telah menyiapkan nasi goreng kesukaanmu” Melihat hal itu, Ponirah tidak dapat menahan rasa harunya  dan iapun menangis dipelukan ibunya. 

          Kadang-kadang  kita sangat  begitu terharu dan  sangat berterima kasih kepada orang lain untuk suatu pertolongan kecil yang diberikannya pada kita. Namun kepada orang yang sangat dekat dengan kita  khususnya orang tua kita yang bertahun sudah berkorban, kita sering melupakannya begitu saja.
.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar