Jumat, 18 Juli 2014

KASIH SAYANG YANG TULUS DAN SUNGGUH-SUNGGUH



Sebagai seorang pemulung Poniran selalu berangkat kerja subuh dan sebelum matahari terbit dia sudah bergelut ditempat pembuangan sampah untuk memilah-milah dan memunguti kertas-kertas bekas dan botol-botol plastik dibeberapa bak sampah sebelum datang truk sampah yang akan mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir.  Demikian juga halnya pada pagi hari itu  setelah sampai disalah satu bak sampah, dengan segera dia bersiap-siap mulai mengais ditempat itu. Namun sebelum dia mulai pekerjaan dia melihat sesuatu yang bergerak-gerak dibawah timbunan sampah itu, lalu dengan pelan-pelan dia mencoba membuka sampah itu, lantas  dia begitu kaget dan terperanjat melihat seorang anak bayi yang masih merah yang dibuang ditumpukan sampah itu. Lalu dia langsung mengangkat bayi itu dan dengan tergopoh-gopoh dia langsung pulang membawa kerumahnya

          Begitu mendengar cerita dan melihat temuan suaminya,  maka Sarah istrinya segera mengambil alih menggendong si bayi dengan perasaan penuh kasihsayang. Sebagai keluarga yang belum mempunyai anak, mereka menganggap bayi yang masih merah itu sebagai pemberian Yang Maha Kuasa kepada keluarga mereka. Setelah kira-kira berumur beberapa bulan, mereka merasa ada kejanggalan akan reaksi penglihatan si bayi tersebut, lalu mereka membawa periksa ke rumah sakit dan kecurigaan merekapun terjawab, karena ternyata anak itu buta dari lahir. Mereka merasa terpukul dan sangat kecewa,  akan tetapi  rasa kasihsayang mereka yang telah terpupuk selama ini, membuat mereka memutuskan untuk tetap memelihara dan membesarkan si kecil yang sedang lucu-lucunya.

          Waktu berjalan terus, setelah mempunyai anak tersebut  Poniran semakin bersemangat melakukan pekerjaannya setiap pagi. Suatu ketika di pagi subuh  dalam perjalan menuju tempat kerjanya, tiba-tiba  dia dikagetkan suatu temuan sepeda motor yang tergeletak dipinggir jalan tanpa pemiliknya.  Setelah dia dekat sepeda motor tersebut lalu dia melihat sekitarnya ternyata pemilik sepeda motor itu telah terjatuh kedalam selokan dipinggir jalan tersebut  terpelesat akibat jalan yang licin setelah diguyur hujan semalaman. Tanpa pikir panjang Poniran langsung loncat kedalam selokan itu lalu menolong pengendara sepeda motor tersebut.  Setelah dibantu lalu lelaki tersebut bisa bangkit berdiri dan setelah membersihkan lumpur yang mengenai pakaiannya dia lalu meneruskan perjalanannya. Namun sebelum meneruskan perjalanannya sipengendara itu sambil mengucapkan terimakasih dia juga minta alamat Poniran.  Tanpa disangka-sangka  pada sore harinya laki-laki sipengendara motor itu bersama isterinya datang kerumah Poniran untuk menyampaikan ucapan terimakasih atas pertolongan Poniran pada pagi hari itu. 

          Begitu sampai  dirumah Poniran sipengendara motor dan isterinya itu merasa sangat prihatin melihat keadaan di rumah Poniran terlebih-lebih setelah mengetahui  mereka juga punya seorang anak yang buta dari sejak lahir. Terdorong oleh keinginan untuk membantu, keluarga itu mereka menawarkan untuk membantu  anak itu kalau suatu saat  ada yang bisa mendonorkan matanya  untuk disumbangkan kepada anak itu, dimana bapak itu kebetulan bekerja disalah satu Rumah Sakit Mata. Tentu saja Poniran dan isterinya menyambut baik tawaran si bapak yang baik hati itu. Dewi Fortuna memang rupanya menghinggapi keluarga itu, setahun kemudian  bapak yang budiman  itu menemukan seorang donor mata, maka jadilah anak itu dioperasi mata walaupun hanya mata sebelah kiri yang bisa diganti karena mata sebelah kanan karena kondisinya  yang sangat parah tidak bisa lagi dioperasi.

          Tahun berjalan dan berganti dengan cepat. Walaupun dengan satu mata yang bisa melihat anak itu yang diberi nama Prihatin adalah anak cerdas dan selalu mendapat prestasi yang baik sejak Sekolah Dasar hingga menamatkan SMA dengan mendapatkan nilai yang sangat baik. Setelah lulus SMA, melalui tes dia diterima disalah satu perguruan tinggi di kota besar. Poniran dan Sarah isterinya mengalami perasaan yang campur aduk. Perasaan gembira dan bangga,  sedih dan kecewapun silih berganti. Gembira dan bangga karena  si Prihatin diterima di universitas terkenal, sedih dan kecewa harus berpisah jauh dan tentu saja membutuhkan biaya yang sangat besar untuk itu.

          Namun demi mewujudkan impian anaknya, mereka bertekad untuk berhemat dan bekerja mati-matian. Sejak saat itu, Poniran  bekerja sangat keras, hampir setiap hari pulang ke rumah hingga larut malam. Akan tetapi…hidup memang sering tidak bisa diduga dan tidak sesuai dengan rencana manusia. Pada saat Prihatin kuliah memasuki tahun ke-4, suatu sore  ayahnya mau pulang kerja tertabrak truk yang remnya blong  dan nyawanya tidak terselamatkan.
Prihatin merasa terpukul dan merasa sedih. Mengetahui  betapa berat beban biaya yang harus dipikul ibunya, maka dia memutuskan untuk berhenti kuliah, pulang kampung dan bekerja serta menemani ibunya di rumah.
Melihat kejadian itu, ibunya sangat terharu dengan tindakan anaknya itu. Lalu Sarah berkata, Nak kita memang sangat kehilangan ayahmu. Tapi Ibu tidak setuju kalau kamu berhenti kuliah. Tolonglah belajar dengan sungguh-sungguh. Lanjutkan kuliahmu dan berusahalah menyelesaikan secepatnya dan ibu hanya berharap kamu pulang dengan membawa ijazah. Ibu akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap secara rutin bisa mengirimkan uang kuliahmu. Sekali lagi saya katakan saya tidak berharap kamu pulang sebelum kuliahmu selesai. Kalau kamu gagal, ayahmu dialam sana akan kecewa karena kerja keras dan pengorbanannya selama ini menjadi sia-sia.
Setelah melanjutkan kuliahnya dengan belajar sungguh Prihatin menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Begitu selesai wisuda, dengan perasaan bangga dan kegembiraan yang meluap-luap disertai kerinduan yang sangat mendalam dia segera pulang ke desanya.
Setiba di rumah, dia mengetuk berulang-ulang pintu rumahnya yang sedang tertutup rapat. Namun sungguh tidak pernah diduga dan dibayangkan sama sekali, pertemuan dengan tetangganya ternyata membuat hatinya hancur berkeping-keping.
“Nak Prihatin”, ibumu telah meninggal delapan bulan yang lalu. Kami mohon maaf tidak memberitahu kamu sesuai dengan permintaan ibumu. Ketika ibumu masih sakit telah menyerahkan sejumlah uang tabungannya kepada kami untuk kami kirimkan setiap bulan apabila dia meninggal dan meminta kami untuk membalas semua surat-suratmu. Selanjutnya dia juga menitipkan surat wasiat yang hanya kamu sendiri yang bisa membacanya, maka akan kami serahkan surat wasiat itu beserta sisa uang yang masih ada sama kami.
Dengan perasaan yang hancur dan berlinang air mata dia membaca wasiat ibunya.                    
  ”Nak Prihatin” yang sangat kami sayangi, maafkan Ibu kalau ananda pulang kampung tidak bisa bertemu lagi sama Ibu. Ketika kamu pulang kampung, dialam sana Bapa sama Ibumu sangat bangga dan gembira melihat kamu pulang dengan ijazah ditanganmu. Semasa hidup saya berjanji dengan Bapamu untuk tidak pernah membuat kau sedih dan kecewa. Apapun yang terjadi sepeninggal Bapa dan Ibu kami tetap  berharap kau tetap menjadi anak yang sangat dibanggakan. Sekalipun ada beberapa hal yang tidak pernah kau ketahui semasa hidup Bapa dan Ibumu, kami sama sekali tidak berniat untuk membohongimu. Semua ini kami lakukan semata-mata karena kasihsayang kami padamu. Sesungguhnya kau tidak pernah lahir dari rahim ibumu ini, namun kami merasa bahwa kau telah dilahirkan ditengah-tengah rumah tangga bapa dan ibu. Sekalipun kau pernah dibuang oleh ibu yang melahirkanmu, janganlah pernah membencinya karena kami menganggap mungkin ini jalan Tuhan agar kami bisa mengasihimu dan menjadi tumpahan kasihsanyang kami. Sekalipun kami kami tidak pernah memberitahu kau semasa hidup kami, bukan kami ingin membohongi kau, tapi kami pun tidak pernah mengetahui siapa dia yang melahirkanmu. Sekalipun Ibu melarang tetangga kita memberitahu kau waktu aku meninggal, bukan karena tidak sayang sama kau, tetapi sudah merupakan janji Ibu sama Bapa apapun yang terjadi bahwa kuliahmu tidak boleh gagal. Bapa dan Ibu memberi namamu “Prihatin” dengan pengharapan sekalipun hidupmu kelak tetap dalam kondisi prihatin, tetapi kami berharap tetap menjadi orang yang bisa mengasihi dan menolong orang lain yang hidup dalam keprihatinan. Dengan demikian Bapa dan Ibumu akan tetap bangga dan gembira dialam sana. 
Selamat Berjuang untuk Ananda Tersayang.
Ibumu (Sarah). 

          Setelah membaca wasiat ibunya, Prihatin merasa mendapat suatu energy yang sangat besar dan semangat yang kuat untuk melanjutkan perjuangan dalam kehidupannya dan berkata dalam hatinya. Sekalipun Bapa dan Ibuku bukan orangtua kandungku tetapi mereka mengasihi aku dengan tulus dan sungguh-sungguh. Walaupun Bapa dan Ibuku hanya pemulung dan buruh cuci, tetapi mereka mampu menyekolahkan aku sampai sarjana. Tuhan beri aku kemampuan untuk hidup dan berjuang menjadi orang yang mampu mengasihi orang lain secara tulus dan sungguh-sungguh, mampu menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan sebagaimana harapan Bapa dan Ibuku yang telah berjuang menjadikan aku menjadi orang yang berguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar