Minggu, 29 Juni 2014

SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN



Seorang janda mempunya anak lima orang hidup dalam kondisi melarat ditimpa bencana kelaparan akibat kemarau panjang di Negerinya. Ia mencoba melepaskan diri dari bencana kelaparan tersebut dengan melakukan perjalanan panjang ke Camp Perlindungan, yang memakan waktu 36 hari untuk sampai ditempat tersebut. Bersama kelima anaknya dia harus menempuh perjalanan yang sangat sulit dan berbahaya, melewati wilayah yang gersang dan kering, hanya untuk bertahan hidup karena tidak adanya hujan turun di Negerinya selama bertahun-tahun. Kurang dari satu hari waktunya sampai di Camp Perlindungan, anaknya yang keempat dan kelima meninggal diperjalanan karena kekurangan cairan (dehidrasi) dan kelaparan. Dengan menahan perasaan yang sangat perih dia harus meninggalkan jasad anaknya dibawah pohon tanpa dikubur, sehingga dia dapat meneruskan perjalanan demi tiga orang anaknya yang lain yang masih hidup. Dia juga melihat lebih dari 20 orang anak-anak yang lain yang pingsan dan sudah meninggal, yang juga ditinggalkan begitu saja dipinggir jalan oleh orang tuanya. “Tidak pernah terpikir bahwa dalam kehidupan saya akan melihat kehidupan yang sangat mengerikan seperti ini katanya”, dengan berlinang air mata. Demikian juga kepala Camp perlindungan berkata : “Saya tidak pernah melihat hal yang sangat  mengerikan seperti ini, orang-orang hidup dalam situasi begitu putus asa tanpa harapan”.  

          Barangkali kitapun  seringkali menggerutu, bahwa hidup yang kita jalani terasa sangat berat, sangat sulit dan tanpa harapan. Kita bergelut dengan persoalan rumah tangga, pergaulan anak-anak yang terlalu bebas, sering membangkang, kesulitan ekonomi, perasaan pedih penuh kekecewaan. Namun, kesulitan hidup yang kita jalani  tidak seberapa dibanding penderitaan janda beranak lima tersebut, yang menyaksikan anak-anaknya mati kelaparan dan harus meninggalkannya dipinggir jalan karena berpacu dengan waktu demi menyelamatkan anak-anaknya yang lain. Situasi kehidupan yang keras harus membawanya ke garis perbatasan antara perjuangan hidup dan ambang kematian. Situasi yang membuatnya harus mampu menghapus air matanya yang jatuh dibawah pohon dipinggir jalan demi meraih secercah senyum pengharapan di Camp perlindungan. 

          Dibalik penderitaan kita, masih banyak orang-orang yang jauh lebih menderita mengalami kepedihan hidup yang tiada tara. Jadi mengapa kita membiarkan diri menjadi bungkuk atas penderitaan kita, tidak memiliki sikap hati yang benar dalam menanggapi persoalan hidup, melainkan terperangkap dengan sikap mengasihani diri sendiri dan menyalahkan Tuhan. Salah satu yang mengakibatkan kelumpuhan dalam hidup kita adalah sebuah sikap hidup yang salah. Untuk itulah kita harus dapat membangun suatu sikap hidup yang baik dan benar. Satu-satunya yang dapat membangun sikap hidup yang benar, hanyalah firman Tuhan, yang menjadi penjaga yang tidak pernah terlelap dan membiarkan kita  goyah. Janganlah badai menjadi hal yang akan menyadarkan kita betapa pentingnya firman Tuhan.  Jadikanlah firman Tuhan sebagai payung kehidupan ketika melewati derasnya hujan air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar