Seorang janda mempunya anak lima orang hidup dalam kondisi melarat
ditimpa bencana kelaparan akibat kemarau panjang di Negerinya. Ia mencoba
melepaskan diri dari bencana kelaparan tersebut dengan melakukan perjalanan panjang
ke Camp Perlindungan, yang memakan waktu 36 hari untuk sampai ditempat
tersebut. Bersama kelima anaknya dia harus menempuh perjalanan yang sangat
sulit dan berbahaya, melewati wilayah yang gersang dan kering, hanya untuk
bertahan hidup karena tidak adanya hujan turun di Negerinya selama
bertahun-tahun. Kurang dari satu hari waktunya sampai di Camp Perlindungan,
anaknya yang keempat dan kelima meninggal diperjalanan karena kekurangan cairan
(dehidrasi) dan kelaparan. Dengan menahan perasaan yang sangat perih dia harus
meninggalkan jasad anaknya dibawah pohon tanpa dikubur, sehingga dia dapat
meneruskan perjalanan demi tiga orang anaknya yang lain yang masih hidup. Dia
juga melihat lebih dari 20 orang anak-anak yang lain yang pingsan dan sudah meninggal,
yang juga ditinggalkan begitu saja dipinggir jalan oleh orang tuanya. “Tidak pernah terpikir bahwa dalam kehidupan
saya akan melihat kehidupan yang sangat mengerikan seperti ini katanya”,
dengan berlinang air mata. Demikian juga kepala Camp perlindungan berkata : “Saya tidak pernah melihat hal yang sangat mengerikan seperti ini, orang-orang hidup
dalam situasi begitu putus asa tanpa harapan”.
Barangkali kitapun seringkali
menggerutu, bahwa hidup yang kita jalani terasa sangat berat, sangat sulit dan
tanpa harapan. Kita bergelut dengan persoalan rumah tangga, pergaulan anak-anak
yang terlalu bebas, sering membangkang, kesulitan ekonomi, perasaan pedih penuh
kekecewaan. Namun, kesulitan hidup yang kita jalani tidak seberapa dibanding penderitaan janda
beranak lima tersebut, yang menyaksikan anak-anaknya mati kelaparan dan harus
meninggalkannya dipinggir jalan karena berpacu dengan waktu demi menyelamatkan
anak-anaknya yang lain. Situasi kehidupan yang keras harus membawanya ke garis
perbatasan antara perjuangan hidup dan ambang kematian. Situasi yang membuatnya
harus mampu menghapus air matanya yang jatuh dibawah pohon dipinggir jalan demi
meraih secercah senyum pengharapan di Camp perlindungan.
Dibalik penderitaan kita, masih banyak orang-orang
yang jauh lebih menderita mengalami kepedihan hidup yang tiada tara. Jadi
mengapa kita membiarkan diri menjadi bungkuk atas penderitaan kita, tidak
memiliki sikap hati yang benar dalam menanggapi persoalan hidup, melainkan
terperangkap dengan sikap mengasihani diri sendiri dan menyalahkan Tuhan. Salah
satu yang mengakibatkan kelumpuhan dalam hidup kita adalah sebuah sikap hidup
yang salah. Untuk itulah kita harus dapat membangun suatu sikap hidup yang baik
dan benar. Satu-satunya yang dapat membangun sikap hidup yang benar, hanyalah
firman Tuhan, yang menjadi penjaga yang tidak pernah terlelap dan membiarkan
kita goyah. Janganlah badai menjadi hal
yang akan menyadarkan kita betapa pentingnya firman Tuhan. Jadikanlah firman Tuhan sebagai payung
kehidupan ketika melewati derasnya hujan air mata.