Hidup di kota Metropolitan
yang sudah penuh sesak baik oleh banyaknya bangunan apakah itu rumah tinggal, perkantoran
ataupun bangunan lainnya serta
berjubelnya manusia, kadang-kadang kita bisa merasa tidak ubahnya seperti
hidup didaerah terpencil yang suni dan sepi. Kita boleh punya rumah yang
berhimpitan dengan rumah tetangga kiri kanan, muka belakang, tapi kita tidak
pernah saling bisa memandang (melihat) karena masing-masing dibatasi dengan
tembok-tembok yang tinggi. Kita bisa berdesak-desakan dijalanan karena
banyaknya manusia, tapi tidak ada yang saling tegur sapa. Kita tidak pernah tau
dan tidak mau tau peristiwa apa yang terjadi di rumah tentangga kita. Tidak ada
keinginan untuk saling kenal dan silaturahmi. Kita bisa merasa kesepian
ditengah keramaian, karena tidak ada tegur sapa dan keramahan bisa menjadi
barang mahal. Semua serba egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Itulah gambaran
pada umumnya pengalaman sebagaian besar orang yang hidup di kota Metropolitan.
Namun, adakalanya kita bisa
dikagetkan sikap dan perilaku serta tindakan beberapa orang baik yang berhati malaikat yang bisa menyejukkan
serta membanggakan perasaan kita.
Pada suatu hari saya naik Mikrolet dari Gandaria Cimanggis menuju terminal Kampung Melayu Jakarta Timur. Supir Mikrolet itu adalah seorang anak muda. Didalam mirolet itu sudah duduk tujuh orang penumpang, termasuk saya. Namun, masih bisa mengangkut empat orang lagi penumpang.
Pada suatu hari saya naik Mikrolet dari Gandaria Cimanggis menuju terminal Kampung Melayu Jakarta Timur. Supir Mikrolet itu adalah seorang anak muda. Didalam mirolet itu sudah duduk tujuh orang penumpang, termasuk saya. Namun, masih bisa mengangkut empat orang lagi penumpang.
Sepanjang perjalanan dari Gandaria sampai Cililitan, mikrolet saling
menyalip untuk berebut penumpang. Tapi dari jauh ada pemandangan aneh yang saya lihat. Di depan angkot yang kami
tumpangi, ada seorang ibu dengan 3 orang anaknya berdiri di pinggir jalan. Setiap ada angkot yang
berhenti dihadapannya, dari jauh kelihatan si ibu menyetop dan bicara kepada sopir mirolet, lalu mirolet tersebut melaju kembali.
Kejadian ini terulang sampai tiga kali. Lalu ketika mikrolet yang kami tumpangi berhenti, si ibu bertanya:
"Nak, sampai Terminal kampung Melayu ya?" sopir tentu saja menjawab
"ya". Tapi anehnya si ibu tidak segera naik. Ia berkata "Tapi saya dan 3 anak saya tidak punya ongkos."
Sambil tersenyum, sopir itu menjawab, "Tidak apa-apa Bu, naik saja,"
ketika si Ibu tampak ragu-ragu, si supir mengulangi perkataannya "Ayo bu,
naik saja, tidak apa-apa .."
Saya sangat kagum melihat kebaikan Supir mikrolet yang masih muda itu, di saat jam sibuk dan
angkot lain saling berlomba untuk mencari penumpang untuk menghejar setoran, tapi si supir muda ini merelakan 4 kursi penumpangnya untuk si ibu dan 3
orang anaknya.
Setelah sampai di terminal Kampung Melayu, 4 penumpang
gratisan ini turun. Si Ibu mengucapkan terima kasih kepada Supir. Tapi dibelakang
ibu itu, tiba-tiba salah seorang pria dari antara penumpang yang lain, turun lalu membayar dengan uang Rp20.000
,- Ketika supir
hendak memberi kembalian, karena ongkos hanya Rp.4.000,- Pria itu bilang bahwa
uang itu untuk ongkosnya dengan eempat orang penumpang gratisan tadi.
"Teruslah jadi orang baik ya, Dek,"
kata pria tersebut kepada sopir mikrolet muda itu...
Siang itu saya
benar-benar merasa kagum dengan kebaikan-kebaikan kecil dan tindakan-tindakan terpuji yang saya
lihat. Seorang Ibu miskin tapi jujur, seorang Supir yang baik hati dan seorang penumpang yang dermawan. Mereka saling
mendukung untuk berbuat dan menciptakan kebaikan. Mereka adalah orang-orang
yang berhati malaikat ditengah-tengah jutaan manusia yang hidup serba egois dan
hanya memikirkan diri sendiri tanpa pernah mau tau kehidupan orang-orang
disekelilingnya.
Sekiranya ada sepertiga saja penduduk bangsa kita seperti
ini, maka kita akan mampu merubah dunia meniru kebaikan kita, karena perubahan harus kita mulai dari diri
kita.
Ingatlah perbuatan baik akan selalu berbuah manis pada
waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar