Sebagai
seorang pemulung Poniran selalu berangkat kerja subuh dan sebelum matahari
terbit dia sudah bergelut ditempat pembuangan sampah untuk memilah-milah dan
memunguti kertas-kertas bekas dan botol-botol plastik dibeberapa bak sampah
sebelum datang truk sampah yang akan mengangkut sampah tersebut ke tempat
pembuangan akhir. Demikian juga halnya
pada pagi hari itu setelah sampai
disalah satu bak sampah, dengan segera dia bersiap-siap mulai mengais ditempat
itu. Namun sebelum dia mulai pekerjaan dia melihat sesuatu yang bergerak-gerak
dibawah timbunan sampah itu, lalu dengan pelan-pelan dia mencoba membuka sampah
itu, lantas dia begitu kaget dan
terperanjat melihat seorang anak bayi yang masih merah yang dibuang ditumpukan
sampah itu. Lalu dia langsung mengangkat bayi itu dan dengan tergopoh-gopoh dia
langsung pulang membawa kerumahnya
Begitu
mendengar cerita dan melihat temuan suaminya, maka Sarah istrinya segera mengambil alih
menggendong si bayi dengan perasaan penuh kasihsayang. Sebagai keluarga yang
belum mempunyai anak, mereka menganggap bayi yang masih merah itu sebagai
pemberian Yang Maha Kuasa kepada keluarga mereka. Setelah kira-kira berumur beberapa
bulan, mereka merasa ada kejanggalan akan reaksi penglihatan si bayi tersebut,
lalu mereka membawa periksa ke rumah sakit dan kecurigaan merekapun terjawab,
karena ternyata anak itu buta dari lahir. Mereka merasa terpukul dan sangat
kecewa, akan tetapi rasa kasihsayang mereka yang telah terpupuk
selama ini, membuat mereka memutuskan untuk tetap memelihara dan membesarkan si
kecil yang sedang lucu-lucunya.
Waktu berjalan terus, setelah
mempunyai anak tersebut Poniran semakin
bersemangat melakukan pekerjaannya setiap pagi. Suatu ketika di pagi subuh dalam perjalan menuju tempat kerjanya,
tiba-tiba dia dikagetkan suatu temuan
sepeda motor yang tergeletak dipinggir jalan tanpa pemiliknya. Setelah dia dekat sepeda motor tersebut lalu
dia melihat sekitarnya ternyata pemilik sepeda motor itu telah terjatuh kedalam
selokan dipinggir jalan tersebut
terpelesat akibat jalan yang licin setelah diguyur hujan semalaman. Tanpa
pikir panjang Poniran langsung loncat kedalam selokan itu lalu menolong
pengendara sepeda motor tersebut.
Setelah dibantu lalu lelaki tersebut bisa bangkit berdiri dan setelah
membersihkan lumpur yang mengenai pakaiannya dia lalu meneruskan perjalanannya.
Namun sebelum meneruskan perjalanannya sipengendara itu sambil mengucapkan
terimakasih dia juga minta alamat Poniran. Tanpa disangka-sangka pada sore harinya laki-laki sipengendara
motor itu bersama isterinya datang kerumah Poniran untuk menyampaikan ucapan
terimakasih atas pertolongan Poniran pada pagi hari itu.
Begitu sampai dirumah Poniran sipengendara motor dan
isterinya itu merasa sangat prihatin melihat keadaan di rumah Poniran
terlebih-lebih setelah mengetahui mereka
juga punya seorang anak yang buta dari sejak lahir. Terdorong oleh keinginan
untuk membantu, keluarga itu mereka menawarkan untuk membantu anak itu kalau suatu saat ada yang bisa mendonorkan matanya untuk disumbangkan kepada anak itu, dimana
bapak itu kebetulan bekerja disalah satu Rumah Sakit Mata. Tentu saja Poniran
dan isterinya menyambut baik tawaran si bapak yang baik hati itu. Dewi Fortuna
memang rupanya menghinggapi keluarga itu, setahun kemudian bapak yang budiman itu menemukan seorang donor mata, maka
jadilah anak itu dioperasi mata walaupun hanya mata sebelah kiri yang bisa
diganti karena mata sebelah kanan karena kondisinya yang sangat parah tidak bisa lagi dioperasi.
Tahun berjalan dan berganti dengan
cepat. Walaupun dengan satu mata yang bisa melihat anak itu yang diberi nama
Prihatin adalah anak cerdas dan selalu mendapat prestasi yang baik sejak
Sekolah Dasar hingga menamatkan SMA dengan mendapatkan nilai yang sangat baik.
Setelah lulus SMA, melalui tes dia diterima disalah satu perguruan tinggi di
kota besar. Poniran dan Sarah isterinya mengalami perasaan yang
campur aduk. Perasaan gembira dan bangga, sedih dan kecewapun silih berganti. Gembira dan
bangga karena si Prihatin diterima di
universitas terkenal, sedih dan kecewa harus berpisah jauh dan tentu saja
membutuhkan biaya yang sangat besar untuk itu.
Namun
demi mewujudkan impian anaknya, mereka bertekad untuk berhemat dan bekerja
mati-matian. Sejak saat itu, Poniran bekerja sangat keras, hampir setiap hari
pulang ke rumah hingga larut malam. Akan tetapi…hidup memang sering tidak bisa
diduga dan tidak sesuai dengan rencana manusia. Pada saat Prihatin kuliah
memasuki tahun ke-4, suatu sore ayahnya
mau pulang kerja tertabrak truk yang remnya blong dan nyawanya tidak terselamatkan.
Prihatin merasa terpukul dan merasa sedih. Mengetahui betapa berat beban biaya yang harus dipikul
ibunya, maka dia memutuskan untuk berhenti kuliah, pulang kampung dan bekerja
serta menemani ibunya di rumah.
Melihat kejadian itu, ibunya sangat terharu dengan
tindakan anaknya itu. Lalu Sarah berkata, Nak kita memang sangat kehilangan
ayahmu. Tapi Ibu tidak setuju kalau kamu berhenti kuliah. Tolonglah belajar
dengan sungguh-sungguh. Lanjutkan kuliahmu dan berusahalah menyelesaikan
secepatnya dan ibu hanya berharap kamu pulang dengan membawa ijazah. Ibu akan
berusaha sekuat tenaga untuk tetap secara rutin bisa mengirimkan uang
kuliahmu. Sekali lagi saya katakan saya tidak berharap kamu pulang sebelum
kuliahmu selesai. Kalau kamu gagal, ayahmu dialam sana akan kecewa karena kerja
keras dan pengorbanannya selama ini menjadi sia-sia.
Setelah melanjutkan kuliahnya dengan belajar sungguh
Prihatin menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Begitu selesai wisuda, dengan perasaan bangga dan kegembiraan yang meluap-luap
disertai kerinduan yang sangat mendalam dia segera pulang ke desanya.
Setiba di rumah, dia mengetuk
berulang-ulang pintu rumahnya yang sedang tertutup rapat. Namun sungguh tidak
pernah diduga dan dibayangkan sama sekali, pertemuan dengan tetangganya
ternyata membuat hatinya hancur berkeping-keping.
“Nak Prihatin”, ibumu telah
meninggal delapan bulan yang lalu. Kami mohon maaf tidak memberitahu kamu
sesuai dengan permintaan ibumu. Ketika ibumu masih sakit telah menyerahkan
sejumlah uang tabungannya kepada kami untuk kami kirimkan setiap bulan apabila
dia meninggal dan meminta kami untuk membalas semua surat-suratmu. Selanjutnya
dia juga menitipkan surat wasiat yang hanya kamu sendiri yang bisa membacanya,
maka akan kami serahkan surat wasiat itu beserta sisa uang yang masih ada sama
kami.
Dengan perasaan yang hancur dan
berlinang air mata dia membaca wasiat ibunya.
”Nak Prihatin” yang sangat kami sayangi, maafkan Ibu kalau ananda
pulang kampung tidak bisa bertemu lagi sama Ibu. Ketika kamu pulang kampung, dialam
sana Bapa sama Ibumu sangat bangga dan gembira melihat kamu pulang dengan
ijazah ditanganmu. Semasa hidup saya berjanji dengan Bapamu untuk tidak pernah
membuat kau sedih dan kecewa. Apapun yang terjadi sepeninggal Bapa dan Ibu kami
tetap berharap kau tetap menjadi anak
yang sangat dibanggakan. Sekalipun ada beberapa hal yang tidak pernah kau
ketahui semasa hidup Bapa dan Ibumu, kami sama sekali tidak berniat untuk
membohongimu. Semua ini kami lakukan semata-mata karena kasihsayang kami
padamu. Sesungguhnya kau tidak pernah lahir dari rahim ibumu ini, namun kami
merasa bahwa kau telah dilahirkan ditengah-tengah rumah tangga bapa dan ibu.
Sekalipun kau pernah dibuang oleh ibu yang melahirkanmu, janganlah pernah
membencinya karena kami menganggap mungkin ini jalan Tuhan agar kami bisa
mengasihimu dan menjadi tumpahan kasihsanyang kami. Sekalipun kami kami tidak
pernah memberitahu kau semasa hidup kami, bukan kami ingin membohongi kau, tapi
kami pun tidak pernah mengetahui siapa dia yang melahirkanmu. Sekalipun Ibu
melarang tetangga kita memberitahu kau waktu aku meninggal, bukan karena tidak
sayang sama kau, tetapi sudah merupakan janji Ibu sama Bapa apapun yang terjadi
bahwa kuliahmu tidak boleh gagal. Bapa dan Ibu memberi namamu “Prihatin” dengan
pengharapan sekalipun hidupmu kelak tetap dalam kondisi prihatin, tetapi kami
berharap tetap menjadi orang yang bisa mengasihi dan menolong orang lain yang
hidup dalam keprihatinan. Dengan demikian Bapa dan Ibumu akan tetap bangga dan
gembira dialam sana.
Selamat Berjuang untuk Ananda Tersayang.
Ibumu (Sarah).
Setelah membaca wasiat ibunya,
Prihatin merasa mendapat suatu energy yang sangat besar dan semangat yang kuat
untuk melanjutkan perjuangan dalam kehidupannya dan berkata dalam hatinya.
Sekalipun Bapa dan Ibuku bukan orangtua kandungku tetapi mereka mengasihi aku
dengan tulus dan sungguh-sungguh. Walaupun Bapa dan Ibuku hanya pemulung dan
buruh cuci, tetapi mereka mampu menyekolahkan aku sampai sarjana. Tuhan beri aku
kemampuan untuk hidup dan berjuang menjadi orang yang mampu mengasihi orang
lain secara tulus dan sungguh-sungguh, mampu menolong orang lain yang
membutuhkan pertolongan sebagaimana harapan Bapa dan Ibuku yang telah berjuang
menjadikan aku menjadi orang yang berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar