Sebagai seorang anak orang miskin
Ponirah selalu menempuh perjalanan sepanjang 14 Km setiap hari pulang pergi ke
sekolahnya dengan berjalan kaki. Ibunya hanya seorang pedagang es keliling,
sedangkan ayahnya sudah lama meninggal. Ibunya tidak mampu memberi ongkos buat
dia untuk bisa naik angkutan umum ke sekolahnya yang cukup jauh, tapi masih
berusaha untuk memberi uang jajan sekedarnya agar bisa makan siang di kantin
sekolah atau di pinggir jalan sambil mau pulang ke rumah. Pagi-pagi sekali dia
sudah harus berangkat agar tidak terlambat sampai di sekolah.
Namun hari itu ibunya membujuknya
untuk pergi sekolah tanpa diberi uang jajan, karena ibunya sama sekali tidak
punya uang. Karena dua hari sebelumnya berturut-turut hujan turun sepanjang
hari sehingga ibunya tidak bisa jualan. Ibunya minta untuk bersabar makan siang
di rumah sepulang dari sekolah. Akan tetapi Ponirah tidak mau mengerti akan
kesulitan ibunya, maka dia merengek-rengek untuk tetap dikasih uang jajan.
Karena dia merengek terus tidak mengerti keadaan orang tuanya, maka ibunyapun marah
dan membentaknya akhirnya sambil menangis Ponirah pergi sekolah pagi itu. Ibunya
sebenarnya tidak tega melihat anaknya itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah anaknya berangkat diapun bergegas berangkat untuk menjajakan jualannya
dengan harapan cuaca cerah, dengan begitu dia pulang lebih awal setelah
mendapat uang, agar bisa memasak nasi sebelum anaknya pulang sekolah.
Siang itu dalam perjalanan pulang
kerumah, Ponirah merasa lapar sekali, maka dia istirahat sebentar sambil
menahan lapar, duduk disebuah bangku panjang warung gado-gado dipinggir jalan.
Setelah duduk kira-kira lima menit, si ibu tukang gado-gado bertanya, “Nak,
apakah kamu mau makan gado-gado?” Dengan suara pelan sambil menahan rasa malu
Ponirah menjawab, “Ya bu, tapi saya tidak punya uang. “Oh tidak apa-apa, kalau
kamu tidak punya uang saya akan berikan satu piring gado-gado untukmu”.Maka
Ponirahpun menyantapnya dengan sangat lahap. Tak lama kemudian air matanya
bercucuran, sambil menangis tersedu-sedu. “Kenapa Nak? Tanya si ibu pemilik
warung gado-gado itu. Tidak apa-apa bu, aku hanya sangat terharu merasakan
kebaikan ibu. Aku baru mengenal ibu tapi terus bersedia memberikan aku sepiring
gado-gado, sedangkan ibuku memaksa aku pergi ke sekolah dengan rasa lapar tanpa
diberi uang jajan. Ibu betul-betul sangat peduli sama aku.
Ibu pemilik warung gado-gado itu
berkata, “Nak, kamu tidak boleh berpikir begitu. Coba kamu renungkan hal ini,
aku hanya memberi sepiring gado-gado, kamu begitu terharu. Ibumu telah
mengandung kamu selama sembilan bulan, melahirkan, membesarkanmu dan
menyekolahkan serta memberimu makan tiap hari. Mungkin hari ini ibumu lagi
tidak punya uang. Jadi sangat tidak pantas dan tidak adil membandingkan aku
dengan ibumu. Ingatlah kamu tidak akan pernah bisa mengukur kasih sayang dari
ibumu. Mendengar perkataan itu, Ponirah
merasa kaget, “Mengapa aku berpikir seperti itu?” Untuk sepiring gado-gado dari
orang yang baru kukenal aku begitu terharu dan berterimakasih, sedangkan
terhadap ibuku yang telah memberikan banyak pengorbanan bertahun-tahun aku
marah dan membenci hanya karena sekali tidak diberi uang jajan.
Segera dia menghabiskan makan gado-gadonya dan dengan cepat-cepat
dia pulang kerumahnya. Begitu sampai dirumah, ibunya langsung memeluk Ponirah
sambil berkata, “Nak, kau sudah pulang, cepat masuk, aku telah menyiapkan nasi
goreng kesukaanmu” Melihat hal itu, Ponirah tidak dapat menahan rasa
harunya dan iapun menangis dipelukan
ibunya.
Kadang-kadang
kita sangat begitu terharu dan sangat berterima kasih kepada orang lain untuk
suatu pertolongan kecil yang diberikannya pada kita. Namun kepada orang yang
sangat dekat dengan kita khususnya orang
tua kita yang bertahun sudah berkorban, kita sering melupakannya begitu saja.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar