1. Hampir semua orang merindukan
suasana rukun dan damai dalam kehidupan. Pertengkaran, konflik apalagi perang
membuat hati kita semua orang gundah dan susah. Hanya segelintir orang sajalah
yang bergembira dan menarik keuntungan dan karena itu menghendaki pertengkaran,
konflik atau peperangan. Umumnya manusia atau orang kebanyakan berusaha
menghindari atau kalau sudah sempat terjadi segera menyudahinya. Dalam rumah
tangga atau persekutuan pertengkaran dan konflik bisa terasa sangat melelahkan
raga dan jiwa, melenyapkan semangat dan sukacita, dan bahkan merusak rumah
tangga atau persekutuan itu.
Namun dalam prakteknya suasana rukun dan damai atau harmoni tidak selalu terjadi di tengah-tengah kehidupan nyata. Ada saja dan banyak masalah yang membuat seorang tidak bisa rukun dengan saudara atau tetangganya atau bahkan dengan pasangan hidupnya sendiri, atau orangtua/anak kandungnya sendiri. Kadang pertengkaran atau konflik itu bisa berlangsung sangat sengit, memakan waktu lama (tidak berakhir sampai mati), melibatkan banyak orang atau bahkan pihak luar, atau bercampur-aduk dengan masalah-masalah lain. Konflik bisa bersifat terbuka atau terang-terangan namun bisa juga tersembunyi bagaikan api dalam sekam.
Namun dalam prakteknya suasana rukun dan damai atau harmoni tidak selalu terjadi di tengah-tengah kehidupan nyata. Ada saja dan banyak masalah yang membuat seorang tidak bisa rukun dengan saudara atau tetangganya atau bahkan dengan pasangan hidupnya sendiri, atau orangtua/anak kandungnya sendiri. Kadang pertengkaran atau konflik itu bisa berlangsung sangat sengit, memakan waktu lama (tidak berakhir sampai mati), melibatkan banyak orang atau bahkan pihak luar, atau bercampur-aduk dengan masalah-masalah lain. Konflik bisa bersifat terbuka atau terang-terangan namun bisa juga tersembunyi bagaikan api dalam sekam.
Konflik bisa merenggut korban
perasaan, tenaga, waktu, harta benda atau bahkan nyawa. Pepatah kuna
mengatakan: memulai konflik seperti membuka tali air. Artinya bisa tidak
terkendali sebab itu berhati-hatilah. Sebaliknya ada pula yang mengatakan
berhubung konflik adalah keniscayaan atau tak terhindarkan maka sebaiknya
dikelola atau dikendalikan saja. Namun baiklah diingat dalam konflik keluarga
apalagi perang saudara biasanya tidak pernah ada yang menang alias semua kalah.
Apalagi jika pihak-pihak yang berkonflik putus asa dan lantas menerapkan
politik bumi hangus. Pameo bataknya: ndang di au ndang di ho tagonan disintak
begu.
2. Konflik dianggap buruk oleh
banyak orang sebab itu dihindarkan. Sebaliknya kerukunan dipandang baik sebab
itu dicari dan diusahakan. (Walaupun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
konflik apalagi perang mendorong kemajuan. Buktinya sebagian besar teknologi
moderen sekarang pada awalnya justru untuk kepentingan perang!). Sebagian orang
sangat suka atau mudah berkonflik (ada yang mengatakan bahwa masyarakat Batak
termasuk di dalamnya) namun sebagian lagi justru sangat takut berkonflik dan
karena itu mendewakan harmoni atau kerukunan. (Pada jaman Orde Baru diberi
nama: stabilitas, keselarasan atau keamanan). Maka segala cara diupayakan agar
konflik tidak terjadi minimal tidak muncul di permukaan. Antara lain: dengan
menggunakan tangan besi atau ancaman kekerasan. Pihak-pihak yang bertikai
mungkin saja hatinya belum sungguh-sungguh ingin berdamai namun mereka takut
kepada ancaman. Cara lain mencipta kerukunan: dengan melakukan “perpisahan
baik-baik” atau saling menjauhkan diri atau berdiam diri. Atau dengan
menekankan perasaan malu. Semua konflik dianggap memalukan sebab itu harus
dihindarkan (kalau perlu dengan mengorbankan hak dan kebenaran). Lantas
bagaimanakah kerukunan yang dimaksudkan Alkitab?
3. Pertama: Kerukunan dengan saudara
adalah dampak kerukunan dengan Tuhan. Alkitab menyatakan bahwa pendamaian kita
dengan Allah-lah yang memberi kita kesempatan berdamai dengan sesama. Rasul
Paulus mengatakan kepada jemaat di Efesus: Tetapi sekarang di dalam Kristus
Yesus kamu, yang dahulu “jauh”, sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus.
Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan
yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan. (Efesus 2:13-14).
Yesus mengatakan dengan nada sebaliknya: Allah menjadikan perdamaian dengan
sesama sebagai syarat untuk mendekati Dia. (Matius 5:24). Intinya adalah:
kerukunan dengan saudara tidak bisa dipisahkan dari kerukunan dengan Allah.
Sebaliknya Yesus juga mengatakan: berbahagialah orang yang membawa damai karena
mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9). Dan Rasul Paulus mengatakan:
Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian
dengan semua orang! (Roma 12:8). Artinya: dalam memperjuangkan segala yang baik
dan benar sekali pun kita tetap harus dalam kerangka perdamaian. Bahasa
sederhana: kebenaran tidak bisa diwujudkan dengan kebencian dan dendam!
4. Kedua: Kerukunan adalah dampak
hukum yang berkeadilan. Pameo terkenal mengatakan: no justice no peace. Tak ada
keadilan maka tak ada juga damai. Hal itu dengan mudah kita saksikan dalam
kehidupan keluarga. Jika orangtua bersikap tidak adil maka anak-anak akan
bertengkar sesamanya. Jika pemerintah bersikap tidak adil maka kelompok-kelompok
dalam masyarakat akan saling membenci satu sama lain. Sebab itu untuk
mewujudkan kerukunan atau harmoni sejati dalam masyarakat kita maka kita harus
sungguh-sungguh menegakkan hukum dan keadilan. Tak ada satu orang pun termasuk
pemimpin yang boleh bertindak sekehendak hatinya dan menempatkan dirinya lebih
tinggi kedudukannya daripada hukum. Sumber-sumber kehidupan harus
didistribusikan secara merata. Setiap orang harus dijamin mendapatkan apa yang
menjadi haknya dan kebutuhannya serta imbalan atas kerja keras serta
prestasinya.
5. Ketiga: kerukunan adalah buah
saling penerimaan. Pada akhirnya kita diingatkan bahwa kerukunan atau harmoni
dalam kehidupan tidak pernah terjadi dengan sendirinya atau otomatis melainkan
harus diusahakan secara sengaja dan serius. Yaitu dengan sikap saling menerima
dan saling menghormati dalam keunikan dan kepribadian masing-masing. Tuhan
tidak menghendaki kita serupa, sama dan seragam dalam segala hal. Tuhan juga
tidak menyuruh saling melebur dan saling meniadakan keunikan dan kepribadian
masing-masing. Tak ada dua orang yang persis sama diciptakan Tuhan termasuk
anak-anak yang dilahirkan kembar sekalipun. Inilah tantangan bagi kita
membangun kerukunan atau persaudaraan sejati. Bagaimana kita bisa tetap bersatu
dalam kepelbagaian yang ada? Bagaimana kita bisa saling menerima walaupun
berbeda-beda? Jawabnya: memiliki visi dan tujuan yang sama yaitu kemuliaan
Allah, dan pengalaman bersama dengan Allah. Dan memiliki musuh bersama: dosa,
kehancuran dan kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar